Beberapa hari yang lalu, saya melihat di Instagram tentang
balita yang sedang berjuang melawan penyakit kanker Neuroblastoma, semacam kanker
ganas yang langka dan kebanyakan menyerang anak-anak. Saya gak tau udah berapa
lama dia berjuang but today I heard the news that Ashira Shalva, usia 2 tahun 4
bulan, semalam (11/11/2014) dinyatakan meninggal dunia. It breaks my heart and
it kills me inside.
Seingat saya, ini sudah yang kedua kalinya saya merasakan
ikut sedih dan menangis untuk dua orang yang saya “kenal” melalui media social.
Ashiva yang kedua.
Yang pertama adalah Cecillia Putty
Vickend. Cecil menderita kanker mulut, dan setelah 3 tahun berjuang, tanggal 26
Desember 2012 dia meninggal dunia. Dan kali ini, saya mau flash back sedikit
tentang mengapa saya mengagumi dia.
Masih lekat diingatan saya, malam itu, saya membaca retweet dari Steny
Agustaf dari temannya. Isinya tentang harapan seseorang untuk seorang sahabat
yang bernama Cecil. Dan ini menarik saya untuk membuka link tersebut. Inti
surat itu adalah harapan agar Cecil bisa sembuh, mengingat sudah banyak cara
yang ditempuh agar Cecil bisa sembuh. Si Teman juga bercerita akan diadakan
malam penggalangan dana di kampusnya, namanya #LoveForCecil. Semenjak itu, saya
langsung kepo. “Siapa sih dia?”
Googling adalah pintu ajaib untuk cari tahu siapa dia. Satu persatu
saya baca, dan akhirnya saya mengerti kenapa dia begitu dicintai.
Kami dilahirkan di tahun yang sama, dia seumuran saya, tapi
dia sudah melangkah jauh dari saya. Dia melakukan banyak hal untuk orang-orang
disekitarnya. Salah satunya ini,
Yang saya kutip
diatas hanyalah salah satu dari sekian cerita dan testimoni dari orang-orang yang mengenalnya. Ada hal-hal
lainnya, yaitu ketika acara Shave for hope di adakan untuk pertama kalinya,
saat itu dia sudah kena kanker, but she still care, dia ikut donasi dengan
memjual sepatu junkie yang hasil penjualannya didonasikan untuk YKI (Yayasan
Kanker Indonesia).
Di blog pribadinya, saya lihat dia suka traveling dan ikutan
bakti social. Dari situlah saya memutuskan untuk menjenguknya. Saya gak kenal
dia tapi saya ingin menjenguknya.
Rabu 26 Desember 2014, saya nekat ke RSPP untuk menjenguk
Cecil. Bingung mau bawa apa, akhirnya saya putuskan untuk membelikannya bunga.
Sesampainya di RSPP, saya sempet ragu, “Aduh, dia kan gak kenal sama gw, trus
kalo banyak temen2nya, apakabar?”. Langkah saya sempat berhenti, tapi saya
sudah disini, gak mungkin mundur lagi.
Begitu sampai di ruang ICU, ada 1 kamar yang didepannya
banyak orang sedang menunggu, dan ternyata disitulah Cecil di rawat. I was so
nervous. Saya dipersilahkan masuk oleh mereka, dan ketika saya masuk, saya
melihat beberapa sahabatnya sedang duduk sambil memegang Al Qur’an. Kemudian ada
suara menyapa, “Ade, terima kasih sudah datang. Cecil, tuh ada temennya datang.”
Saya menghampiri Cecil dan memandang matanya. Oh My God, saya gak akan pernah
lupa tatapan itu, dia seperti tersenyum eventhough I know she didn’t know me.
Maminya nanya siapa namaku dan temen apa. Nah loh!! Saya dengan apa adanya
menjawab, “nama saya Ega, saya “kenal” Cecil di twitter, saya kagum sama Cecil
dan saya mau jenguk”. Maminya bengong, lalu dia menyampaikan ke Cecil, “Nih,
Ega mau ketemu kamu, sayang”. Ketika mata kami bertemu, reflek, saya menyentuh
tangannya dan bilang “Hai gorgeous, be strong, cepet sembuh, you on my tought”.
Dia mengedipkan mata seperti tanda setuju.
Lalu saya memilih untuk duduk di kursi , menghadap ke Cecil.
Saya lihat tangan dan kakinya yang kurus sekali, kulitnya putih, dan dia sedang
menahan rasa sakit. Lalu sayapun membaca Al fatiha. Jarang sekali ada ruang ICU
yang dibiarkan pintunya terbuka dan membiarkan orang bebas masuk untuk
menjenguk pasiennya. Ternyata semua itu atas ijin dari pihak RS dan dari
dokternya, mengingat kondisinya yang kritis jadi dokter mengijinkan siapapun
untuk masuk.
Kurang lebih 10 menit kemudian tiba-tiba keluar darah dari
mulutnya. Yes, she’s bleeding. Gak lama, dokter dan suster masuk. Yang saya
ingat kemudian, tangan Cecil di ikat, gak tau supaya apa. Suasana tiba-tiba
menjadi panic, teman-teman yang sedang membaca Al Qur’an seketika menangis dan
berpelukan sambil sesekali memanggil nama Cecil. I will never forget that day. Saat
itu, maminya langsung membaca Surat Yasin, then I heard her mom said, “Sayang,
kalau kamu udah gak kuat, Mami ikhlas.” Disitu hati saya sedih sekali, I guess
you know why.
Saya memutuskan keluar dan memilih melihatnya dari pintu
saja sambil menahan air mata, kebetulan saat itu pintunya terbuka. Saya hanya
melihat kaki Cecil yang bergerak-gerak, menahan sakit, mendengar dokter yang
menyebutkan beberapa nama obat, dan mendengar doa yang terucap dari mulut
orang-orang yang mencintai dia. I saw her dad is crying, and then I cry. Karena waktu sudah sore, saya memutuskan
untuk pulang. Saya gak pamit ke Maminya karena situasi sedang tidak
memungkinkan.
Saya tiba di RSPP sekitar jam 2 siang dan pulang jam 16.30. Almost
3 hour. Ini rekor terlama saya menjenguk orang yang belum dikenal.
Begitu sampai rumah sekitar jam 8 kurang, saya buka Twitter,
dan air mata sayapun menetes. She passed away. Oh Lord, so this is Your final
decision. So sad but I believed, inilah yang terbaik.
Cecillia Putty Vickend, kehadirannya
singkat tapi meninggalkan jejak. September 2013, acara Shave for Hope diadakan
lagi, saya ikutan. Saya hanya menyumbang rambut saya. Rada emosional juga sih
saat itu, dimana ketika saya mengingat Cecil (yang tahun lalu ada di acara ini)
saya melihat ada orang yang memakai kaos Love for Cecil. Oh God, still it makes
me wanna cry. Lalu saya minja ijin untuk foto kaos itu. Hey Girl, they never
erased you, so do i.
Bisa dibilang kebiasaan saya traveling itu juga karena dia. Yes, I jealous
with you, girl. You see a lot of place, you do a lot of thing for people. I wanna
be as good as you did. Thanks for inspiring me, thank you so much, love.
Terima kasih Tuhan, sudah mengijinkan saya bertemu dengannya
untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Tempatkanlah dia ditempat yang terbaik. Aamiin.